Ujian.
Apa yang ada dibenak anda ketika terlintas sebuah kata yang bernama ujian? Anda
seperti seorang tawana perang yang 5 hari didera, disiksa, dan dicambuk oleh
soal-soal biadab yang tidak berprikesoalan. Apalagi jika soal tersebut bernama matematika,
seakan diibaratkan sebuah roket berisi amunisi rumus-rumus yang siap meledakkan
otak anda bukan?
Matematika
selalu menjadi mimpi buruk bagiku setiap kali Ujian, apalagi setingkat ujian
nasional. Tapi aku selalu berpikir jika aku yakin kalau aku bisa sukses
mengerjakan soal matematika, ya aku bisa, pasti bisa melawan matematika. Tapi itu
pun hanya setengah hati, aku merasa otakku lemot di mata pelajaran matematika.
Dan sukses atau tidak menjalani perang otak tiga jilid selama duduk dibangku
sekolah, jilid I ujian dikelas VI SD, Jilid II ujian dikelas IX SMP dan jilid
III Ujian dikelas XII SMA, sangat ditentukan oleh persiapan kita sebelum ujian.
Detik-detik
menjelang UN memang selalu diselimuti perasaan gundah gulana yang mendera diri,
apalagi jika dibayang-bayangi pelajaran matematika. Matematikaa lagi.. Seperti
halnya sekarang kita yang sedang menghadapi ujian di SMA, semuanya seakan penuh
kesibukan, bak seorang calon presiden yang sedang menyiapkan kampanyenya. Tetapi
pengalaman yang super keren ini aku alami saat masih duduk polos di bangku SMP,
aku yang mulai berniat menuntaskan beberapa tugas dari guru mata pelajaran agar
saat tiba ujian nasional tulis otakku sudah fresh dan tidak terkontaminasi lagi
oleh tugas yang mendera diri. Tapi lambat laun semua ini membuatku gilaaa.. Yah
memang sudah gila dari dulu mungkin. Terus semenjak syarat kelulusan SMP menjadi
5,00 tiap mata pelajaran engga boleh kurang dari itu, atau anda akan mendapat
mimpi buruk alias tidak lulus. Dalam hati selalu terpikir “ bagaimana
menyelesaikan soal matematika dengan cepat dan tidak lemot menghafal
rumus-rumus? andai aku bisa meminjam otak Albert Einsten untuk 3 jam saja, rasanya
aku tidak akan stress memikirkan matematika”
Singkat cerita
hari itu diliputi perasaan resah dan gelisah memikirkan pelajaran matematika dimana
aku yang sedang mengenakan baju seragam SMP berniat pergi kewarnet untuk
mengerjakan tugas praktek pelajaran TIK ( Tekhnologi Informasi dan Komunikasi )
dengan tugas dari guru TIK yang tegas dan otoriter setara dengan Adolf Hilter.
Hal ini aku lakukan sebagai salah satu persiapan ujian pula, dimana aku bisa
mencari segala hal yang berbau Ujian Nasional di internet. Akupun akan mencoba
menyelesaikan tugas-tugas praktek beberapa mata pelajaran diwarnet itu.
Ternyata dampak gaya hidup yang penuh kegelisahan seperti
itu sangatlah amat besar sodara-sodara, misalnya pas aku dalam perjalanan
pulang dari warnet aku melihat papan tanda yang di pasang di sebuah pohon,
tulisannya cukup menggoda “Di Larang Buang Sampah Di Sini Kecuali Gogog” dan
setelah aku baca tulisan itu yang ada dipikiranku adalah “Wah ini kalimat
menggunakan gaya bahasa apa yah? Metonomia kah? Sinisme? Sarkasme? Hmmm
kayaknya sinisme deh, kalo soal ini keluar di ujian gimana yah?” Sambil
manggut-manggut menaikan satu alis. Terus berikutnya pas aku lagi melewati
selokan, ada tikus berbulu pitak, benar-benar pitak. Kulitnya keliatan gitu,
dan kayaknya itu tikus bau sekali deh, soalnya kotor banget. Aku sempet
merhatiin itu tikus, sistem pencernaannya. Bagaimana cara dia bernafas.
Bagaimana organ-organ tubuhnya, wah kacau kalo masalah ini keluar di soal
biologi.
Sama halnya ketika aku memperhatikan sebuah pohon tinggi
didekat selokan, aku mulai memikirkan rumus untuk menghitung tinggi pohon. Aduh
ini rumusnya gimana yah (otakku mulai berputar) T = apa yah. Sudalah daripada
aku gila mikirin rumus-rumus MTK, mending aku sms Albert einsten aja.
Hal-hal seperti tadi selalu menggelayut di otakku.
Soal-soal UN itu. Mungkin ketika suatu saat nanti aku membeli gorengan, aku
liat dulu bungkusnya siapa tau ada soal matematika yang bisa dikerjakan, atau
mungkin pas aku lihat bunderan, jangan-jangan aku berniat menghitamkannya.
Alhasil tibalah tanggal 27 April 2009, dimana gong
eksekusi otak akan ditabuh. Aku duduk di sela-sela meja yang seakan runtuh
dengan kerasnya ukuran skala richter debaran jantungku. Aku sungguh tegang, aku
memperhatikan dengan seksama 2 orang pengawas wanita yang terlihat santai
membagikan soal-soal ujian. “Mata pelajaran pertama adalah PAI”, sambil dia berbincang-bincang
dan membacakan tata tertib selama ujian. Setelah soal PAI selesai dibagikan
pengawas itu pun duduk dengan tatapan mata yang seakan penuh dengan
persahabatan dan menyambut baik pertemuan pertama ini. Aku duduk dijajaran
bangku kedua dari muka kelas. Aku beranikan diri melirik kanan kiri, semuanya
mulai ujian dengan penuh keseriusan dan konsentrasi tingkat tinggi. Akhirnya semuanya
bisa terselesaikan,
Dan disinilah pengalaman paling keren itu terjadi. Ketika
di mata pelajaran matematika, soal mulai dibagikan. Aku merasa tegang, grogi,
takut, seram, pesimis, optimis, pokoknya campur aduk deh kayak gado-gado
perasaan dihati ini. Aku akan mencoba menyelesaikannya, aku melihat lembar
pertama, bisa jawab satu. Lanjut ke lembar ke dua, bengong. Kelembar ketiga,
garuk-garuk kepala. Lembar keempat, udah mulai ketawa gak jelas. Lembar kelima,
mulut keluar busa, ya engga lah. Yang jelas aku bakal merasa gagal total
dimatematika, dimana penyakit phobia matematika ku mulai kambuh.
Kuberanikan diri mencari partner untuk lembar jawabanku,
sedikit berikhtiar daripada harus menunggu 1 tahun lagi di SMP. Aku mulai
mendapat ilham dari teman-temanku yang baik hati memberikanku lembar jawaban,
tapi masalah betul atau tidakknya, entahlah hanya pembuat soal, pemeriksa soal,
dan Tuhanlah yang tau.
Konflik terjadi saat orang yang paling pinter sekelas
akan ku jadikan narasumber untuk menjadi bahan sampel lempar jawaban
Matematikaku. Aku panggil-panggil namanya tiga kali, tidak juga melirik. Aku lempar dengan kertas, takut
ketauan pengawas, soalnya dia duduk tepat dijajaran bangku pengawas. Aku mulai
gemas, rasanya aku ingin melempar kepalanya memakai kursi.
Akhirnya aku berinisiatif memberikan kertas padanya untuk
lembar jawaban yang akan dia berikan padaku, pasti dia akan memberikan lembar
jawabannya, kita sudah bersama-sama tiga tahun di SMP, mana mungkin dia tega
melihatku uring-uringan didepan soal matematika, yang jika aku tidak dapat
meyelesaikannya, matematika itu akan menghasilkan mimpi yang teramat buruk
padaku.
Aku lemparkan kertas itu padanya, tapi sial beribu sial,
kertas itu malah menghampiri kedua pengawas yang duduk santai menyantap cemilan
dari pihak sekolah. Aku mulai ketawa cengengesan ditengah tatapan tajam mata
teman-temanku yang serempat menatapku seraya mata panah yang siap dilepaskan
busurnya.
Pengawas itu mulai melangkah dan mengambil kertas
lemparanku itu. Aku hanya memalingkan muka karena terlanjur diselimuti rasa
malu yang teramat sangat, dan perlahan-lahan kertas itu dibukanya, pelan-pelan
dibuka, kertas itu terbelalak terbuka. Semuanya memperhatikan ke arah kertas
itu dan hasilnya… ZONK!! Satu orang pengawas dan seluruh teman-temanku tertipu.
Tapi dengan keajaiban tuhan dia tidak bereaksi apa-apa
padaku, hanya memberikan satu senyuman, aku tertawa dalam hati dan terimakasih
kepada Tuhan. Coba kalo kertas tadi berisi lembar jawaban, entah apa yang akan
terjadi pada diriku.
Pesan moral : Buanglah sobekan kertas pada tempat sampah,
jangan pada muka pengawas dan apabila sudah skak mat dengan soal-soal
matematika, makan saja kertas jawabannya karena kertas itu banyak seratnya,
sangat baik untuk kesehatan.
written by : Iis Solihat - My Best <3
written by : Iis Solihat - My Best <3
0 komentar:
Posting Komentar