Minggu, 04 Oktober 2015

Phobia Matematika saat Ujian

Ujian. Apa yang ada dibenak anda ketika terlintas sebuah kata yang bernama ujian? Anda seperti seorang tawana perang yang 5 hari didera, disiksa, dan dicambuk oleh soal-soal biadab yang tidak berprikesoalan. Apalagi jika soal tersebut bernama matematika, seakan diibaratkan sebuah roket berisi amunisi rumus-rumus yang siap meledakkan otak anda bukan?
Matematika selalu menjadi mimpi buruk bagiku setiap kali Ujian, apalagi setingkat ujian nasional. Tapi aku selalu berpikir jika aku yakin kalau aku bisa sukses mengerjakan soal matematika, ya aku bisa, pasti bisa melawan matematika. Tapi itu pun hanya setengah hati, aku merasa otakku lemot di mata pelajaran matematika. Dan sukses atau tidak menjalani perang otak tiga jilid selama duduk dibangku sekolah, jilid I ujian dikelas VI SD, Jilid II ujian dikelas IX SMP dan jilid III Ujian dikelas XII SMA, sangat ditentukan oleh persiapan kita sebelum ujian.
Detik-detik menjelang UN memang selalu diselimuti perasaan gundah gulana yang mendera diri, apalagi jika dibayang-bayangi pelajaran matematika. Matematikaa lagi.. Seperti halnya sekarang kita yang sedang menghadapi ujian di SMA, semuanya seakan penuh kesibukan, bak seorang calon presiden yang sedang menyiapkan kampanyenya. Tetapi pengalaman yang super keren ini aku alami saat masih duduk polos di bangku SMP, aku yang mulai berniat menuntaskan beberapa tugas dari guru mata pelajaran agar saat tiba ujian nasional tulis otakku sudah fresh dan tidak terkontaminasi lagi oleh tugas yang mendera diri. Tapi lambat laun semua ini membuatku gilaaa.. Yah memang sudah gila dari dulu mungkin. Terus semenjak syarat kelulusan SMP menjadi 5,00 tiap mata pelajaran engga boleh kurang dari itu, atau anda akan mendapat mimpi buruk alias tidak lulus. Dalam hati selalu terpikir “ bagaimana menyelesaikan soal matematika dengan cepat dan tidak lemot menghafal rumus-rumus? andai aku bisa meminjam otak Albert Einsten untuk 3 jam saja, rasanya aku tidak akan stress memikirkan matematika”
             Singkat cerita hari itu diliputi perasaan resah dan gelisah memikirkan pelajaran matematika dimana aku yang sedang mengenakan baju seragam SMP berniat pergi kewarnet untuk mengerjakan tugas praktek pelajaran TIK ( Tekhnologi Informasi dan Komunikasi ) dengan tugas dari guru TIK yang tegas dan otoriter setara dengan Adolf Hilter. Hal ini aku lakukan sebagai salah satu persiapan ujian pula, dimana aku bisa mencari segala hal yang berbau Ujian Nasional di internet. Akupun akan mencoba menyelesaikan tugas-tugas praktek beberapa mata pelajaran diwarnet itu.
            Ternyata dampak gaya hidup yang penuh kegelisahan seperti itu sangatlah amat besar sodara-sodara, misalnya pas aku dalam perjalanan pulang dari warnet aku melihat papan tanda yang di pasang di sebuah pohon, tulisannya cukup menggoda “Di Larang Buang Sampah Di Sini Kecuali Gogog” dan setelah aku baca tulisan itu yang ada dipikiranku adalah “Wah ini kalimat menggunakan gaya bahasa apa yah? Metonomia kah? Sinisme? Sarkasme? Hmmm kayaknya sinisme deh, kalo soal ini keluar di ujian gimana yah?” Sambil manggut-manggut menaikan satu alis. Terus berikutnya pas aku lagi melewati selokan, ada tikus berbulu pitak, benar-benar pitak. Kulitnya keliatan gitu, dan kayaknya itu tikus bau sekali deh, soalnya kotor banget. Aku sempet merhatiin itu tikus, sistem pencernaannya. Bagaimana cara dia bernafas. Bagaimana organ-organ tubuhnya, wah kacau kalo masalah ini keluar di soal biologi.
            Sama halnya ketika aku memperhatikan sebuah pohon tinggi didekat selokan, aku mulai memikirkan rumus untuk menghitung tinggi pohon. Aduh ini rumusnya gimana yah (otakku mulai berputar) T = apa yah. Sudalah daripada aku gila mikirin rumus-rumus MTK, mending aku sms Albert einsten aja.
            Hal-hal seperti tadi selalu menggelayut di otakku. Soal-soal UN itu. Mungkin ketika suatu saat nanti aku membeli gorengan, aku liat dulu bungkusnya siapa tau ada soal matematika yang bisa dikerjakan, atau mungkin pas aku lihat bunderan, jangan-jangan aku berniat menghitamkannya.
            Alhasil tibalah tanggal 27 April 2009, dimana gong eksekusi otak akan ditabuh. Aku duduk di sela-sela meja yang seakan runtuh dengan kerasnya ukuran skala richter debaran jantungku. Aku sungguh tegang, aku memperhatikan dengan seksama 2 orang pengawas wanita yang terlihat santai membagikan soal-soal ujian. “Mata pelajaran pertama adalah PAI”, sambil dia berbincang-bincang dan membacakan tata tertib selama ujian. Setelah soal PAI selesai dibagikan pengawas itu pun duduk dengan tatapan mata yang seakan penuh dengan persahabatan dan menyambut baik pertemuan pertama ini. Aku duduk dijajaran bangku kedua dari muka kelas. Aku beranikan diri melirik kanan kiri, semuanya mulai ujian dengan penuh keseriusan dan konsentrasi tingkat tinggi. Akhirnya semuanya bisa terselesaikan,
            Dan disinilah pengalaman paling keren itu terjadi. Ketika di mata pelajaran matematika, soal mulai dibagikan. Aku merasa tegang, grogi, takut, seram, pesimis, optimis, pokoknya campur aduk deh kayak gado-gado perasaan dihati ini. Aku akan mencoba menyelesaikannya, aku melihat lembar pertama, bisa jawab satu. Lanjut ke lembar ke dua, bengong. Kelembar ketiga, garuk-garuk kepala. Lembar keempat, udah mulai ketawa gak jelas. Lembar kelima, mulut keluar busa, ya engga lah. Yang jelas aku bakal merasa gagal total dimatematika, dimana penyakit phobia matematika ku mulai kambuh.
            Kuberanikan diri mencari partner untuk lembar jawabanku, sedikit berikhtiar daripada harus menunggu 1 tahun lagi di SMP. Aku mulai mendapat ilham dari teman-temanku yang baik hati memberikanku lembar jawaban, tapi masalah betul atau tidakknya, entahlah hanya pembuat soal, pemeriksa soal, dan Tuhanlah yang tau.
            Konflik terjadi saat orang yang paling pinter sekelas akan ku jadikan narasumber untuk menjadi bahan sampel lempar jawaban Matematikaku. Aku panggil-panggil namanya tiga kali, tidak  juga melirik. Aku lempar dengan kertas, takut ketauan pengawas, soalnya dia duduk tepat dijajaran bangku pengawas. Aku mulai gemas, rasanya aku ingin melempar kepalanya memakai kursi.
            Akhirnya aku berinisiatif memberikan kertas padanya untuk lembar jawaban yang akan dia berikan padaku, pasti dia akan memberikan lembar jawabannya, kita sudah bersama-sama tiga tahun di SMP, mana mungkin dia tega melihatku uring-uringan didepan soal matematika, yang jika aku tidak dapat meyelesaikannya, matematika itu akan menghasilkan mimpi yang teramat buruk padaku.
            Aku lemparkan kertas itu padanya, tapi sial beribu sial, kertas itu malah menghampiri kedua pengawas yang duduk santai menyantap cemilan dari pihak sekolah. Aku mulai ketawa cengengesan ditengah tatapan tajam mata teman-temanku yang serempat menatapku seraya mata panah yang siap dilepaskan busurnya.
            Pengawas itu mulai melangkah dan mengambil kertas lemparanku itu. Aku hanya memalingkan muka karena terlanjur diselimuti rasa malu yang teramat sangat, dan perlahan-lahan kertas itu dibukanya, pelan-pelan dibuka, kertas itu terbelalak terbuka. Semuanya memperhatikan ke arah kertas itu dan hasilnya… ZONK!! Satu orang pengawas dan seluruh teman-temanku tertipu.
            Tapi dengan keajaiban tuhan dia tidak bereaksi apa-apa padaku, hanya memberikan satu senyuman, aku tertawa dalam hati dan terimakasih kepada Tuhan. Coba kalo kertas tadi berisi lembar jawaban, entah apa yang akan terjadi pada diriku.


            Pesan moral     :  Buanglah sobekan kertas pada tempat sampah, jangan pada muka pengawas dan apabila sudah skak mat dengan soal-soal matematika, makan saja kertas jawabannya karena kertas itu banyak seratnya, sangat baik untuk kesehatan.

written by : Iis Solihat - My Best <3

0 komentar:

Posting Komentar